GarudaNews (Sukabumi) – Komunitas musisi independen asal Sukabumi yang tergabung dalam Zona Bawah Tanah (ZBT) kembali menunjukkan eksistensinya dalam dunia musik lokal melalui gelaran bertajuk CICURUG GERILYA REVOLUTION X.
Memasuki edisi ke-10 dengan diikuti 22 grup band dari berbagai genre, perhelatan tahun ini mengusung tema "Liwet Fest", yang bukan hanya menghadirkan suguhan musikal, tetapi juga menjadi ruang ekspresi musik serta bentuk nyata dari solidaritas sosial. Bertempat di pelataran Gildea Musik Studio tepatnya di Kampung Ciutara RT 22 RW 08, Desa Pondokkaso Landeuh, Kecamatan Parungkuda, Sukabumi, Minggu (20/04/2025).
Tema "Liwet Fest" sendiri dipilih sebagai simbol dari semangat guyub, sederhana namun penuh makna. Tradisi makan liwet, yang kerap kali menjadi simbol keakraban dan kebersamaan dalam budaya Sunda, menjadi filosofi utama yang membingkai keseluruhan rangkaian acara. Musik, dalam konteks ini, tidak hanya menjadi sarana hiburan semata, tetapi juga perekat sosial dan medium reflektif atas dinamika zaman.
Ketua panitia penyelenggara, Kang Agil menyatakan, Cicurug Gerilya Revolution bukan sekadar konser musik biasa, melainkan sebuah pernyataan sikap: bahwa seni, dalam hal ini musik, mampu menjadi kendaraan perubahan sosial dan ruang edukatif yang kritis, inklusif, serta membumi.
"ZBT ingin terus menghadirkan ruang alternatif bagi para pelaku seni dan generasi muda di Sukabumi, agar mereka dapat berkarya dengan bebas dan bertanggung jawab. Momen ini pun ajang silaturahmi antar musisi sekaligus halal bihalal," ujar Kang Agil yang juga sebagai owner Gildea Musik Studio.
"Cicurug Gerilya Revolution terus menegaskan diri sebagai simpul perlawanan kultural terhadap homogenisasi selera dan keterasingan kreativitas. Tidak hanya menghidupkan ruang seni alternatif, tetapi juga menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat,” imbuhnya.
Tak hanya berhenti pada aspek artistik, lanjut Kang Agil, acara ini juga diisi dengan kegiatan sosial berupa pemberian santunan kepada anak-anak yatim piatu di sekitar wilayah acara.
"Ini menjadi representasi dari semangat empati dan kepedulian komunitas terhadap lingkungan sosialnya. Bahwa dalam setiap bunyi dentuman drum dan raungan gitar, ada getaran hati yang peduli pada sesama," ucapnya.
Sebagai bagian dari refleksi perjalanan Cicurug Gerilya Revolution, Kang Agil pun menyampaikan harapan besar untuk keberlangsungan dan perkembangan acara di masa mendatang.
Kami berharap kegiatan ini dapat terus berlanjut dan berkembang lebih besar, tidak hanya sebagai ajang pentas musik, tapi juga sebagai gerakan budaya yang berkelanjutan. Kami ingin merangkul lebih banyak komunitas, memperluas jaringan kolaborasi, serta membangun ekosistem seni yang sehat dan inklusif di Sukabumi.
"Semoga kedepan, dukungan dari berbagai pihak, baik masyarakat, pemerintah, maupun pelaku industri kreatif dapat semakin menguatkan langkah kami," harapnya.
"Dengan semangat kolektif dan dedikasi yang tak pernah padam, ZBT membuktikan bahwa dari akar rumput pun bisa tumbuh perlawanan artistik yang kuat, berakar pada lokalitas, namun tetap terbuka terhadap wacana global," pungkasnya.
(eRHa)